Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

Goresan Abstrak


Senja yang ditemani hujan rintik-rintik itu menemani kesunyian hatiku, senja di sore itu memang terlihat indah ketika di pandang, tapi entah mengapa aku mengurungkan niat untuk menyapanya.
Mataku tertuju tepat di pojok kamarku. Lagi-lagi aku membaca isi surat itu, surat yang selalu kusimpan rapi di meja belajar di pojok kamar, tepatnya di tumpukkan coretan-coretan yang tidak terlalu penting. Sengaja aku menyimpannya disitu karena aku tak ingin ada seorangpun yang mengetahuinya.
Setiap kali aku membacanya, jutaan tanda tanya bersemayam di benakku, ribuan pedang merobek perasaanku, imajinasi-imajinasiku seperti gelembung yang beterbangan ke langit dan tanpa tujuan pasti.
Selintas bayangan itu singgah.
“Ya ampun kamar ko berantakan gini.” Ucapku sambil melihat ke seluruh penjuru kamarnya.
“Hehehehe, belum sempat aku beresin, tadinya mau aku beresin sebelum kamu kesini, eh tau-taunya udah datang duluan.” Jawab Erga.
Melihat kamarnya yang seperti puing-puing kapal yang hancur dan terdampar berserakan dimana-mana, tentunya aku sebagai wanita tidak tinggal diam begitu saja. Apalagi sampah bekas makanan ringan yang ia simpan di belakang pintu kamar, di tambah lagi baju kotor yang membuat kamarnya menimbulkan bau tak sedap.
“Aku beresin ya kamarnya.” Kataku sambil mencari-cari sapu.
“Wah seriusan? Asik, itu di belakang pintu.” Sambil mengambilkannya.
“Vin tapi aku mandi dulu ya, nanti habis mandi aku bantuin juga.”
“Iya, cepet ya.”
Aku mulai membereskan kamar itu dengan merapikan tempat tidurnya, membereskan bajunya dimulai dari memisahkan baju yang kotor dengan
yang bersih, menyapu setiap sudut kamarnya, dan membereskan buku-buku pada tempatnya.
Tepat ketika aku membereskan buku-buku itu, aku mengambil sebuah buku bacaan kecil. Tertulis jelas nama pemilik buku itu. Jleb, rasanya seperti tertancap pisau yang baru di asah tepat pada jantung, ingin sekali mencabut pisau itu, tapi aku takut lukanya akan semakin melebar, tapi jika aku biarkan, pisau itu akan tetap berada di jantungku tanpa ada yang mengambilnya, jikapun ada mungkin aku sudah mati.
Menangislah aku tanpa air mata, itu selalu aku lakukan jika masih dapat ditahan.
“Aku mohon Tuhan, kuatkan aku di saat seperti ini.” Lirihku pelan
Kembali lagi ketika aku sedang membaca surat itu. Bayangan tadi tak pernah sedikitpun hilang di pikiranku. Bahkan terlalu jelas untuk tidak berusaha aku pikirkan.
Aku berpikir kembali apakah Erga masih menyimpan catatan kecil itu? Yang aku sendiri simpan dengan kedua tanganku dengan rapi. Aku sangat yakin ketika ia akan menyiapkan buku untuk pergi ke kampus atau ketika ia akan membaca buku, pasti ia akan melihat buku kecil itu, aku sangat yakin dan pasti ia teringat siapa yang memberikannya. Mungkin itu hal yang membuatku sangat hancur. Aku sendirilah yang membiarkan ia menyimpan buku kecil itu, membereskan rapi buku tersebut, dan akupun harus menerima apa konsekuensinya.
Satu hal yang membuat aku hilang kepercayaan lagi ketika itu ia mengatakan suatu hal yang membuatku merasa lebih baik, tapi mungkin tidak kenyataannya.
“Kamu tenang saja ya Vina. Buku kecil itu aku berikan kepada adikku, jadi aku tidak mungkin menyimpannya lagi.”
Itulah yang ia katakan tepat di depanku, masih teringat jelas raut mukanya saat menatapku dengan tatapan meyakinkan. Tapi ketika aku teringat lagi kejadian di kamarnya, semua kepercayaanku hilang, tertutup keraguan yang terlalu besar, terlalu menyakitkan untuk sebuah kebohongan.
“Kenapa kamu berbohong? Katamu sudah diberikan buku itu pada adikmu? Kenapa masih ada di kamarku? Kenapa harus berbohong padaku? Kenapa? Apakah buku kecil itu sangat berarti bagimu? Kenapa kamu tak pernah memikirkan perasaanku? Tak pernahkah kamu berpikir jika kamu yang berada di posisiku?”
Sungguh aku tak ingin bertanya semua hal itu kepadanya, kuurungkan niatku itu. Aku cukup tahu apa yang aku lihat berbeda jauh dengan apa yang dikatakannya kepadaku. Entah itu suatu kebohongan, atau memang buku kecil itu sangat berarti untuknya sampai ia masih menyimpannya, aku sungguh tak peduli apapun alasannya, yang pasti aku tidak suka ia masih menyimpannya, apalagi jika memang benar ia membohongiku atas apa yang ia katakan, aku sangat benci terhadap pembohong dan kebohongan, entah itu berbohong untuk kebaikan ataupun bukan, yang jelas aku sangat tidak menyukainya.
Aku tak kuasa saat mengetahui orang lain lebih mengenal tentangnya di bandingkan aku sendiri yang selama ini mengisi hatinya. Orang lain yang mengetahui kebiasaannya, tau sikapnya saat marah, saat cemburu, bahkan jadwal makan dan kegiatannya setiap libur, dan yang membuatku terpojokkan ketika aku tahu orang itu pandai memasak dan sering membuatkan makanan untuknya. Aku tersadar aku seorang wanita tapi aku tidak bisa memasak, karena aku tahu ia menyukai wanita yang bisa memasak seperti ibunya. Aku memang seorang wanita dan aku tidak akan melupakan kodratku sebagai wanita, akupun ingin bisa memasak dan aku pasti akan belajar dengan tak perlu harus di sindir. Hal itu membuat aku merasa lemah karena aku akan berpikir ia membandingkanku dengan siapa setiap kali ia menyuruhku untuk memasak dan membuatkan makanan untuknya.
Akhirnya surat itu aku tutup setelah selesai membaca, aku menangis sejadi-jadinya tak kuasa menahan apa yang ku pendam selama ini. Tetesan demi tetesan membasahi surat itu dan aku simpan surat itu kembali kemudian merebahkan tubuhku di atas kasur ketika senja itu mulai berganti menjadi malam pekat.

Hadiah dan surat itu adalah milik Erga yang didapat dari seseorang dari masalalunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar